|
Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga
bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia
tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah
kemudian diasuh oleh neneknya—Pu’irah—yang tinggal bersama
bibinya—Sini—di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.
Pendidikan
dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Sedang
pendidikan menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil, gadis berkulit
sawo matang itu berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan
mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang
untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil.
Di
lingkungan keluarganya, ia dikenal anak rajin. Jika tidak ada kegiatan
sekolah, ia biasa membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang dari
sekolah, ia biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah. “Dia sering
mengirim bontotan ke sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan, biasanya
anak itu memakai payung dari pelepah pisang,” kenang Suradji, pamannya
Marsinah sambil menerawang. Berbeda dengan teman sebayanya yang lebih
suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan membaca.
Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk menyaksikan siaran
berita televisi.
Ketika menjalani masa sekolah menengah atas,
Marsinah mulai mandiri dengan mondok di kota Nganjuk. Selama menjadi
murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat
belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara
kelas. Jalan hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus menerima
kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi. “Dia ingin sekolah di IKIP. Tapi, uang siapa
untuk membiayai di perguruan tinggi itu,” ujar kakek Marsinah.
Pergi
meninggalkan desa adalah sebuah langkah hidup yang sulit terelakan.
Kesempatan kerja di pedesaan semakin sempit. Ujungnya adalah tidak ada
pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha mengirimkan
sejumnlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan
gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun
1989. setahun kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di
Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan
tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah
adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi buruh pabrik.
Kegagalan
meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya
padam. “Mbak Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah
nasib seseorang,” ujar salah seorang temannya. Karena itu, untuk
menambah pengetahuan dan keterampilan, Marsinah mengikuti kursus
komputer dan bahasa Inggris di Dian Institut, Sidoarjo. Kursus komputer
dengan paket Lotus dan Word Processor sempat dirampungkan beberapa waktu
sebelum ia meninggal. Semangat belajar yang tinggi juga tampak dari
kebiasaannya menghimpun rupa-rupa informasi. Ia suka mendengarkan warta
berita, baik lewat radio maupun televisi. Minat bacanya juga tinggi.
Saking senangnya membaca, ia terpaksa memakai kacamata. Pada waktu-waktu
luang, ia seringkali membuat kliping koran. Malahan untuk kegiatan yang
satu ini ia bersedia menyisihkan sebagian penghasilannya untukmembeli
koran dan majalah bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan
untuk menutup biaya hidup.
Ia dikenal sebagai seorang pendiam,
lugu, ramah, supel, tingan tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai
nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau
ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk.
Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak
adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.
Paling
tidak dua sifat yang terakhir disebut—pemberani dan setia kawan—inilah
yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April
1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja
Marsinah—resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran
Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para
pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada
minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan
di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan
dalam Surat Edaran Gubernur.
Keresahan tersebut akhirnya
berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak
masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Sebagian buruh
bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja.
Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari
data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin
Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan
pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para
buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan.
Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka
bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam
yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift
III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat
pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil
meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Bangkitnya Keberanian
Suasana
kota yang penuh dengan persaingan telah membuat setiap orang yang
tinggal didalamnya untuk menjadi keras. Apalagi kehidupan buruh-buruh di
pabrik yang setiap hari dikejar-kejar target produksi yang telah
ditetapkan sepihak oleh pengusaha. Maka menjadi tidak mengherankan bahwa
Marsinah, gadis desa yang lugu, lalu tidak canggung berdiri di barisan
terdepan pengunjuk rasa. Sebuah keberanian telah menggusur kepasrahan
pada nasib!
Semakin merebak jumlah aksi pemogokan di berbagai
kota industri menjadi bukti ketidakpuasan. Pabrik, gedung Dewan
Perwakilan Rakyat, instansi-instansi pemerintah yang berurusan dengan
masalah perburuhan, dan jalanan-jalanan kota menjadi panggung yang
mementaskan keresahan kaum buruh yang tak kunjung terhenti. Menurut
berita, di Jawa Timur tercatat 155 pemogokan yang semuanya dihadapi
tentara.
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga
di perusahaan sebelum aksi berlangsung. “Ya sudah, kalau teman-teman
tidak diperbolehkan masuk, keamanan saya serahkan kepada bapak, kami
sekarang hendak berunding dengan pengusaha!”, ucapnya pada salah seorang
aparat keamanan.
Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam
perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah
tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan
dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang
tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar
Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum
Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan
bersama.
Berakhirkah pertentangan antara buruh dengan pengusaha?
Ternyata tidak! Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo.
Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa
babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK.
Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis
yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat
yang sama. Sungguh! Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara
ikut bermain.
Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa
kawan-kawannya adalah suatu keniscayaan di negeri milik pengusaha ini.
Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan
kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan yang teriakkan, dan
dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya
pengetahuan tentang ketidakberesan yang melanda segala lapisan dalam
masyarakat kita.
Kemarahannya meledak saat mengetahui perlakuan
tentara kepada kawan-kawannya. “Saya tidak terima! Saya mau (melapor) ke
paklik saya yang jadi jaksa di Surabaya!” teriak Marsinah gusar. Dengan
gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya,
lantas pergi.
Kemana perginya Marsinah? Tidak ada yang tahu. Yang pasti, Marsinah tidak lagi terlihat di pabrik tempat ia bekerja.
Awal Kebangkitan
Marsinah
telah mati. Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan,
Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan
tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar
bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin
karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena
pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak
darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang
sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan
dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Marsinah adalah sosok
perjuangan yang telah dihancurkan oleh sebuah ketakutan dan kecurigaan.
Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak bisa dipenjara.
Jiwanya akan membumbung tinggi untuk berubah menjadi lidah-lidah api
yang akan menghanguskan segala bentuk ketidakadilan.
Anak-anak
desa yang menemukan Marsinah, dan kita, menjadi saksi. Sekarang atau
esok, anak-anak itu dan kita akan terus bersaksi dan bercerita tentang
ketidakadilan, tentang gugurnya seorang buruh pejuang, tentang buruh
perempuan yang tidak ragu untuk kehilangan nyawanya demi keyakinannya
tentang kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.