Kapitalisme: Sebuah Modus Eksistensi*
Oleh: Husain Heriyanto
PENGANTAR
Saat ini tidak ada yang bisa membantah kedigdayaan rezim
kapitalisme mendominasi peradaban dunia global. Berakhirnya
Perang Dingin menyusul ambruknya komunisme-sosialisme Uni
Soviet beserta negara-negara satelitnya sering
diinterpretasikan sebagai kemenangan kapitalisme. Hampir
dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya kapitalisme
hadir menggerakkan aktivitas. Kritik-kritik yang ditujukan
terhadap kapitalisme justru bermuara kepada terkooptasinya
kritik-kritik tersebut untuk lebih mengukuhkan kapitalisme.
Muncul pertanyaan lain, ke arah mana peradaban manusia
akan dibawa oleh kapitalisme. Apakah gerangan yang
menyebabkan ideologi ini tetap bertahan, dan bahkan, kian
mendominasi dunia? Apakah hegemoni kapitalisme ini merupakan
akhir sejarah umat manusia atau sebagai satu-satunya
alternatif yang mesti diterima sebagaimana yang diperkirakan
oleh Francis Fukuyama dalam The End of History? Masih
berpeluangkah proyek emansipasi manusia dari dominasi
kapital dan fetisisme komditas?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, diperlukan
pemahaman yang tepat mengenai pengertian hakiki apa itu
sesungguhnya kapitalisme.
I. PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN KAPITALISME
I.1. Pengertian Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan
peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya,
termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang
lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme
sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar
sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme
sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek
(1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme
dalam ekonomi.
Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social
system based on the recognition of individual rights,
including property rights, in which all property is
privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada
pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana
semua pemilikan adalah milik privat).
Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme
sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan
logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang
dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan
perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan
konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat.
Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx
ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation
Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah
satu empat formasi sosial (primitif, tradisional,
kapitalisme, post-kapitalisme).
I.2. Sejarah Perkembangan Kapitalisme
Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988)
menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia
modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan
merkantilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana,
kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan
pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan
kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan.
Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didisain untuk
mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal
menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis
mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana
pasar berada dan bagamana memanipulasi pasar untuk
keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner ini paralel
dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah
kepanjangan tangan dari kapitalisme.
Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai
berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar
luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah
terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776),
diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang
mengekspresikan gagasan "laissez faire"1) dalam ekonomi.
Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya
intervensi pemerintah dalam urusan negara. Smith berpendapat
bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah
dengan membiarkan individu-individu mengejar
kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan
perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988).
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai
tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi
birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan
saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah
(Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui
kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli,
sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena
intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya
tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial
dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi
kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan
agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai
perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara
kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut
sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang
mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan
tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.
Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan
dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late
capitalism. organized capitalism, advanced capitalism).
Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa
state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut)
mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses
konsentrasi ekonomi seperti korporasi-korporasi nasional dan
internasional yang menciptakan struktur pasar oligopolistik,
dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi
intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan
kapitalisme liberal, maka menurut Habermas, dilakukan
repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi
massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud
dalam sistem demokrasi formal.
II. PRINSIP-PRINSIP DASAR KAPITALISME
II.1. Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi
dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b)
kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas.
Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok
kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami tersebut
individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk
keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan
institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi
kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup
pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk
kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme,
altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan
aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang natural
mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan "the invisible hand"
dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses
yang senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik
atau paling rasional. Smith pernah berkata: "...free marker
forces is allowed to balance equitably the distribution of
wealth". (Robert Lerner, 1988).
II.2. Akumulasi Kapital
Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam pengertian
hakiki dari kapital. Apa yang dimaksud dengan kapital
sehingga dapat menjelaskan formasi sosial tempat kita hidup
sekarang adalah kapitalisme? Heilbroner menolak
memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal yang
material berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital
hanya berupa barang-barang produksi atau uang yang
diperlukan guna membeli material dan kerja, maka kapital
akan sama tuanya dengan peradaban.
Menurut Heilbroner, kapital adalah faktor yang
mnggerakkan suatu pross transformasi berlanjut atas
kapital-sebagai-uang menjadi kapital-sebagai-komoditi,
diikuti oleh suatu transformasi dari
kapital-sebagai-komoditi menjadi kapital-sebagai uang yang
bertambah. Inilah rumusan M-C-M yang diperkenalkan Marx.
Proses yang berulang dan ekspansif ini memang diarahkan
untuk membuat barang-barang dan jasa-jasa dengan
pengorganisasian niaga dan produksi. Eksistensi fisik benda
dan jasa itu merupakan suatu rintangan yang harus diatasi
dengan mengubah komoditi menjadi uang kembali. Bahkan kalau
hal itu terjadi, bila sudah terjual, maka uang itu pada
gilirannya tidak dianggap sebagai produk akhir dari
pencarian tetapi hanya sebagai suatu tahap dalam lingkaran
yang tak berakhir.
Karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukanlah suatu
benda material melainkan suatu proses yang memakai
benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi
dinamiknya yang berkelanjutnya. Kapital adalah suatu proses
sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk
fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita
memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan
menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.
Rumusan M-C-M (Money-Commodity-Money) yang diskemakan
Marx atas metamorfosis yang berulang dan meluas yang
dijalani kapital merupakan penemuan Marx terhadap esensi
kapitalisme, yaitu akumulasi modal. Dalam pertukaran M-C-M
tersebut uang bukan lagi alat tukar, tetapi sebagai
komoditas itu sndiri dan menjadi tujuan pertukaran.
II.3. Dorongan Untuk Mengakumulasi Kapital (Heilbroner)
Analisis kapital sebagai suatu proses ekspansif seperti
yang diuraikan di muka, ditelaah lebih dalam lagi oleh
Heilbroner melalui pendekatan psikoanalisis, antropologis,
dan sosiologis. Menurut Heilbroner, gagasan kapital sebagai
suatu hubungan sosial menyingkapkan inti hubungan itu, yaitu
dominasi. Hubungan dominasi memiliki dua kutub. Pertama,
ketergantungan sosial kaum yang tak berpunya kepada pemilik
kapital di mana tanpa ketergantungan itu kapital tidak
memiliki pengaruh apa-apa. Kedua, dorongan tanpa henti dan
tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.
Heilbroner melontarkan pertanyaan: Apakah alasan
pembenaran dari proses tanpa henti ini? Ia menyebutkan bahwa
dorongan ini digerakkan oleh keinginan untuk prestise dan
kemenonjolan (realisasi diri)2. Dalam bahasa Abraham Maslow,
dorongan mengakumulasi kekayaan yang tidak puas-puas ini
merupakan manifestasi aktualisasi diri. Namun, Heilbroner
mengingatkan bahwa kebutuhan afektif ini hanyalah suatu
kondisi yang perlu (necessary condition) namun belum menjadi
syarat cukup (sufficient condition) untuk dorongan mengejar
kekayaan. Lalu Heilbroner menemukan bahwa kekayaan
memberikan pemiliknya kemampuan untuk mengarahkan dan
memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat. Ini adalah
kekuasaan. Kekayaan adalah suatu kategori sosial yang tidak
terpisahkan dari kekuasaan.
Dengan demikian, hakekat kapitalisme menurut Heilbroner,
adalah dorongan tiada henti dan tanpa puas untuk
mengakumulasi kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar
manusia untuk merealisasi diri, mendominasi, berkuasa.
Karena dorongan ini berakar pada jati diri manusia, maka
kapitalisme lebih merupakan salah satu modus eksistensi
manusia. Mungkin inilah sebabnya mengapa kapitalisme mampu
bertahan dan malah menjadi hegemoni peradaban global.
III. TINJAUAN KRITIS
Tinjauan kritis ini dibuat dengan asumsi bahwa analisis
sosial memiliki keterbatasan-keterbatasan skematisasi
dinamika kehidupan sosial. Tinjauan tentang kekuatan dan
kelemahan kapitalisme lebih merupakan hipotesa.
III.1. Kekuatan Kapitalisme
Unsur-unsur apa yang dikandung kapitalisme sehingga ia
saat ini tetap tangguh? Terdapat beberapa kekuatan yang
memungkinkan kapitalisme masih bertahan hingga kini melalui
berbagai kritikan tajam dan rintangan.
Pertama, daya adaptasi dan transformasi
kapitalisme yang sangat tinggi, sehingga ia mampu menyerap
dan memodifikasi setiap kritik dan rintangan untuk
memperkuat eksistensinya. Sebagai contoh, bagaimana ancaman
pemberontakan kaum buruh yang diramalkan Marx tidak
terwujud, karena di satu sisi, kaum buruh mengalami
pembekuan kesadaran kritis (reifikasi), dan di lain sisi,
kelas borjuasi kapital melalui negara memberikan "kebaikan
hati" kepada kaum buruh dengan konsep "welfare state". Pada
gilirannya, kaum kapitalis memperoleh persetujuan (consent)
untuk mendominasi masyarakat melalui apa yang disebut
Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik, budaya; atau
seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim kapital
memiliki kemampuan untuk memperoleh kepatuhan massa dengan
memunculkan "patriotisme" ekonomik.
Kedua, berkaitan dengan yang pertama, tingginya
kemampuan adaptasi kapitalisme dapat dilacak kepada waktu
inheren pada hakekat kapitalisme, yaitu dorongan untuk
berkuasa dan perwujudan diri melalui kekayaan. Atas dasar
itulah diantaranya, maka Peter Berger dalam Revolusi
Kapitalis (1990) berani bertaruh bahwa masa depan ekonomi
dunia berada dalam genggaman kapitalisme.
Ketiga, kreativitas budaya kapitalisme dan
kapasitasnya menyerap ide-ide serta toleransi terhadap
berbagai pemikiran. Menurut Rand, kebebasan dan hak individu
memberi ruang gerak manusia dalam berinovasi dan berkarya
demi tercapainya keberlangsungan hidup dan kebahagiaan.
Dengan dasar pemikiran ini, Bernard Murchland dalam
Humanisme dan Kapitalisme (1992) dengan penuh keyakinan
menaruh harapan bahwa kapitalisme demokratis adalah
humanisme yang dapat menyelamatkan peradaban manusia di masa
depan.
III.2. Kelemahan Kapitalisme
Mengacu kepada asumsi-asumsi dasar kapitalisme,
klaim-klaim pendukung kapitalisme dan praktek kapitalisme,
terdapat beberapa kelemahan mendasar kapitalisme.
Pertama, pandangan epistemologinya yang
positivistik mekanistik. Positivisme yang memisahkan fakta
dan nilai, bahkan hanya terpaku pada apa yang disebut
fenomena fakta dan mengabaikan nilai, terbukti sudah
ketidakmampuannya menjelaskan perkembangan sains modern dan
kritikan dari fenomenologi hermeneutik (human sciences).
Pola pikir positivistik hanya satu dimensi, yaitu dialektika
positif, yang pada gilirannya mereduksi kemampuan refleksi
kritis manusia untuk menari makna-makna tersembunyi di balik
fenomena-fenomena. Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man
(1991) berkata: "... Kapitalisme, yang didorng oleh
teknologi, telah mengembang untuk mengisi semua ruang sosial
kita; telah menjadi suatu semesta politis selain psikologis.
Kekuasaan totalitarian ini mempertahankan hegemoninya dengan
merampas fungsi kritisnya dari semua oposisi, yaitu
kemampuannya berpikir negatif mengenai sistem, dan dengan
memaksakan kebutuhan-kebutuhan palsu melalui iklan, kendali
pasar, dan media. Maka, kebebasan itu sendiri menjadi alat
dominasi, dan akal menyembunyikan sisi gelap
irasionalitas..."
Kedua, berkaitan dengan yang pertama, asumsi
antropologis yang dianut kapitalisme adalah pandangan
reduksionis satu dimensi manusia yang berasal dari
rasionalisme Aufklarung. Temuan alam bawa sadar
psikoanalisis menunjukkan bahwa banyak perilaku manusia
tidak didorong oleh kesadaran atau rasionalitas, melainkan
oleh ketidaksadaran dan irasionalitas. Asumsi kapitalisme
yang mengandaikan bahwa distribusi kekayaan akan terjadi
dengan sendirinya bila masyarakat telah makmur (contoh:
konsep trickle down effect) melupakan aspek irasionalitas
manusia yang serakah dan keji. Dorongan yang tidak pernah
puas menumpukkan kapital sebagai watak khas kapitalisme
merupakan bentuk patologis megalomania dan narsisisme.
Ketiga, keserakahan mengakumulai kapital berakibat
pada eksploitasi yang melampau batas terhadap alam dan
sesama manusia, yang pada gilirannya masing-masing
menimbulkan krisis ekonologis dan dehumanisasi. Habermas
(1988) menyebutkan kapitalisme lanjut menimbulkan
ketidakseimbangan ekologis, ketidakseimbangan antropologis
(gangguan sistem personaliti), dan ketidakseimbangan
internasional.
Keempat, problem moral. Bernard Murchland (1992),
seorang pembela gigih kapitalisme, mengakui bahwa masalah
yang paling serius yang dihadapi kapitalisme demokratis
adalah pengikisan basis moral. Ia lalu menoleh ke
negara-negara Timur yang kaya dengan komponen moral
kultural. Atas dasar problem etis inilah, maka Mangunwijaya
(1998) dengan lantang berkata: "... ternyatalah, bahwa
sistem liberal kapitalis, biar sudah direvisi, diadaptasi
baru dan diperlunak sekalipun, dibolak-balik diargumentasi
dengan fasih ilmiah seribu kepala botak, ternyata hanya
dapat berfungsi dengan tumbal-tumbal sekian milyar rakyat
dina lemah miskin di seluruh duia, termasuk dan teristimewa
Indonesia...."
Kelima, implikasi dari praktek mengkomoditikan
segenap ide-ide dan kegiatan-kegiatan sosial budaya, maka
terjadilah krisis makna yang pada gilirannya menimbulkan
krisis motivasi. Habermas (1988) mengatakan bahwa pada
tataran sistem politik, krisis motivasii ni menimbulkan
krisis legitimasi, atau menurut istilah Heilbroner (1991)
dengan krisis intervensi.
IV. KESIMPULAN
Analisis Heilbroner di muka, jika dikembangkan lebih
lanjut secara filosofis, akan membawa kita untuk
berkesimpulan bahwa kapitalisme lebih daripada sekedar
sistem ekonomi atau sistem sosial. Sebagai peradaban,
kapitalisme dapat kita katakan sebagai suatu cara berada
manusia, suatu modus eksistensi. Seorang kapitalis adalah
orang yang melalui harta kekayaannya ia mewujudkan diri,
menyingkap eksistensi diri. Ia mengaktualkan dirinya dengan
dan untuk kapital. Dengan kapital, ia berharap memperoleh
kekuasaan dan dominasi. Memiliki kapital berarti menguasai
dunia. Sains, teknologi, seni, dan agama menjadi subordinasi
dan pelayan atau pelegitimasi kapital. Itulah modus
eksistensi kapitalisme.
Atas dasar pemikiran di atas, kita dapat memahami mengapa
ideologi-ideologi seperti sosialisme, Marxisme, komunisme,
humanisme, dan bahkan eksistensialisme-sekuler gagal
menghadapi kapitalisme. Kaum sosialis telah gagal memahami
kapitalisme sebagai modus eksistensi. Ini dimulai dari Karl
Marx sendiri yang melihat kapital hanya sebagai "cara
produksi" (modus produksi), konsep sentral yang digunakannya
dalam Das Kapital. Akibatnya, banyak analiss dan ramalan
Marx yang melenceng. Bahkan sosialisme akhirnya terkooptasi
oleh kapitalisme. Konsep "welfare state" yang diterapkan di
negara kapitalis adalah salah satu contoh upaya adaptasi
kapitalisme merangkul semangat sosialisme ke dalam
pangkuannya. Ideologi-ideologi sekuler dunia lainnya
sekarang ini hanyalah ibarat anak-anak kapitalisme atau
subordinasi kapitalisme global, kapitalisme konsumeris.
Kaum Mazhab Frankfurt sebagai pewaris semangat kritisi
sosial Marx yang pada mulanya mencanangkan proyek pembebasan
masyarakat dari hegemoni kapitalisme akhirnya juga jatuh
kepada pesimisme. Mereka seakan-akan tidak melihat lagi
adanya peluang untuk menciptakan dunia alternatif selain
dunia ciptaan kapital. Mereka menganggap manusia modern
telah kehilangan rasionalitas dan kesadaran kritis. Kini
mereka seakan tak mampu lagi bersuara lantang menentang
kapitalisme sebagaimana pendahulu mereka, katakanlah
misalnya Herbert Marcuse yang menulis One Dimensional Man.
Para pendukung teori kritis inipun seakan tidak bereaksi
ketika Perter Berger, seorang pembela kapitalisme, dengan
arogan mengatakan sosialisme adalah mitos, sedang
kapitalisme adalah masa depan manusia.
Sementara itu, analisis Max Weber yang mengaitkan
perkembangan kapitalisme dengan etos kerja Protestan kini
juga bermuara kepada proses sekulerisasi yang tidak
diperkirakan sebelumnya. Pada mulanya, motif religius
menggerakkan orang untuk kerja keras, tekun, efisien, dan
berprestasi karena perolehan kesuksusan duniawi diartikan
sebagai tanda keselamatan ilahi. Namun, proses sekulerisasi
terjadi sedemikian rupa sehingga Tuhan dan akhirat
perlahan-lahan hilang dari kesadaran manusia. Aktivitas
duniawi sama sekali tidak lagi digerakkan oleh motivasi
agama, namun semata-mata oleh motif materialistik. Berger
menyebutkan Protestanisme sebagai manifestasi yang paling
sempurna dari proses dialektik di mana orientasi agama yang
bersifat inner-worldly itu "menggali kubur" untuk dirinya
sendiri.
Luar biasa memang pesona materi itu sehingga motivasi
agama pun akhirnya juga terkooptasi oleh motivasi
materialistik.
V. SARAN
Dengan menelaah secara tajam hakekat kapitalisme, kita
dapat melihat kekuatan dan kelemahannya secara obyektif. Ini
diperlukan agar proyek besar pembebasan manusia dari
hegemoni kapitalisme - tentu saja yang berminat - dapat
mengkonstruksi ideologi atau peradaban alternatif yang
sungguh-sungguh antitesis kapitalisme secara mendasar,
radikal dan menyeluruh.
Persoalannya, bagaimana kita merancang antitesis itu?
Adakah modus eksistensi alternatif yang dapat menaklukkan
kapitalisme menjadi sekedar metode atau manajemen bisnis?
Perlukah lebih dahulu kita merombak secara revolusioner
pandangan dunia (worldview) kita tentang antropologi,
kosmologi, teologi?
Catatan:
* Makalah sesi kedua Short-Course kajian Ideologi,
Peradaban dan Agama - HMI Cabang Depok dan FIKI-UI di
PKTTI-UI Depok, 21 Des. 1999.
1) Istilah "Laissez Faire" berasal dari bahasa Perancis
laissez faire la nature (let nature take its course); dapat
diartikan sebagai sikap pembiaran kebebasan semaunya tanpa
pengaturan dan kontrol.
2) Heilbroner mengutip pernyataan Adam Smith sendiri
dalam Theory of Moral Sentiments (1976): "Orang kaya
berbangga dalam kekayaan-kekayaan mereka, karena dia merasa
bahwa kekayaan-kekayaan itu membuatnya diperhatikan dunia.
Memikirkan hal ini membuat dia berbesar hati dan membuatnya
makin mencintai kekayaannya."
REFERENSI
- Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.
- Berger, P., Revolusi Kapitalis, (terjemahan), LP3ES,
Jakarta 1990.
- Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan),
Erlangga, Jakarta, 1990.
- Habermas, J., Letigimation Crisis, Polity Press,
Cambridge Oxford, 1988.
- Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social
Order, dalam Anthony de Crespigny and Jeremy Cronin,
Ideologies of Politics, Oxford University Press, London,
1978.
- Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme,
(terjemahan), LP3ES, Jakarta, 1991.
- Lerner, R.E., Western Civilization, Volume 2, W.W.
Norton & Company, Ney York-London, 1988.
- Mangunwijaya, Y.B., Mencari Landasan Sendiri, Esei
Pada Harian Kompas 1 September 1998, Jakarta.
- Marcuse, H., One Dimensional Man, Beacon Press,
Boston, 1991.
- Murchland, B., Humanisme dan Kapitalisme,
(terjemahan), Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.
- Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet
Book, New York, 1970.